Entri Populer

Senin, 15 September 2014

Haruskah Aku menjadi Gila (CERPEN)


Hembusan angin dipagi hari tak sesegar pemandangan depan rumahku, sebuah gubuk yang dihuni oleh keluarga kecil yang bahagia. Entahlah, aku melihatnya bahagia. Kutarik nafasku panjang-panjang berharap udara yang kuhirup dapat membuat perasaanku sedikit membaik. Baru saja kutarik nafasku aku mendengar suara piring pecah, hembusan nafaskupun serentak dengan rasa kagetku.
Mau kamu itu sebenarnya apa?”
“Masih bertanya seperti itu? Kamu itu bodoh atau apasih? Aku ingin cerai!!!”
Aku sudah terlalu sering mendengarkan perkataan itu, karena suara itu berada didalam rumahku. Ya, itu ibu dan ayahku mereka bertengkar lagi. Kali ini aku benar-benar sedang tak ingin menghiraukannya, bukan karena aku tak ingin keluargaku bahagia seperti keluarga depan rumahku, tapi aku sudah lelah melerai orangtuaku sendiri, ayaku keras juga egois dan ibuku tak mau mengalah.
Aku tak mungkin meninggalkan anak-anak
Anak-anak tetap denganku! Kau hidup sendiri saja dengan keegoisanmu!”
“Kamu bilang aku yang egois? Bukankah selama ini aku yang mengurus dan membesarkan mereka?”
“Tapi aku juga ikut mengurus mereka! Dan aku yang membiayai hidup mereka termasuk DIRIMU!”
Kali ini terdengar ibu berkata dengan nada tinggi, aku sudah tidak tau harus berbuat apa aku pikir mungkin memang perceraianlah jalan terbaik. Hidupku memang tak seindah mereka, pertengkaran orangtuaku menjadi konsumsiku setiap hari, aku pusing! Kadang-kadang aku berpikir untuk pergi jauh dari rumah yang sudah tidak bisa memberikan rasa nyaman dan tepat untuk berlindung, tapi betapa akan berdosanya aku jika melakukan itu. Lagipula jika aku bisa sabar, Allah pasti akan memberikan pahala yang begitu besar dan banyak padaku. Aku juga tak bisa meninggalkan adikku yang masih kecil dan kakakku yang sedang kuliah diluar kota.
v  Ya, aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku  sudah merasakan kepahitan keluarga lebih dulu sebelum aku lahir, dan tumbuh menjadi wanita yang cerdas sehingga mendapatkan beasiswa kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Bandung, dan kini sudah semester lima. Aku sendiri sekarang duduk di kelas tiga SMA di SMA Favorit dikotaku, dan adikku masih kelas 4 SD.
Untung saja adikku sudah berangkat kesekolah sejak pagi. Aku tidak ingin adikku mendengarkan pertengkaran ayah dan ibunya setiap saat, aku tak ingin psikisnya terganggu. Cukup kakak dan aku yang boleh merasakannya, karena aku dan kakakku adalah perempuan jadi kita bisa dengan apik mengetahui mana saja yang harus kita rapikan dari semua yang terjadi dirumah ini, perkataan orangtua yang mana yang harus dihindari dan harus diambil, menyimpulkan yang terbaik dari setiap peristiwa yang terjadi apakah kita harus mendahulukan ibu atau ayah jika pertengkaran mereka sudah sangat parah. Sedangkan adikku laki-laki, cenderung hanya akan meniru apa yang dilihat dan didengarnya tanpa menggunakan perasaan, jadi aku dan kakakku sangat menjaga adikku karena kami takut dia tumbuh menjadi pria yang kasar dan egois seperti ayah. Maka dari itu aku selalu menutup telinga adikku dengan headset yang mengeluarkan music dengan volume tinggi jika ibu dan ayah sedang bertangkar.

Rasanya aku tak bisa menangis lagi karena air mataku sudah terlalu sering dikuras oleh kesalahan orangtuaku. Akupun tidak tahu persis ini semua kesalahan siapa. Bahkan aku juga tak pernah tahu kapan semua ini akan berakhir. Aku merasa aku adalah orang paling menderita sedunia, aku adalah orang yang tak pernah sekalipun merasakan bahagia. Hatiku selalu bertanya “kapan aku seberuntung mereka?” atau haruskah kutanya pertanyaan yang lebih kejam “kapan mereka sesengsara aku?”. Hahahahahahahhaha aku hanya bisa tertawa menikmati hidupku ini, bukan tertawa bahagia, akan tetapi tertawa saking merasa aku ini sudah gila! Bahkan aku ingin GILA sungguhan!!!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar